a Mate Shows the Lighter Side of Destiny

Hari ini tepat satu bulan setelah hari pernikahan saya. Saya menikah dengan pria yang sudah saya kenal sejak tahun 2011. Sama sekali tidak terbayang dalam hidup saya untuk menikah dengannya. Kami berkenalan melalui perantara seorang teman di depan kantin karyawan. Itu saja. Saat itu saya sudah memiliki komitmen dengan seseorang, begitu pula dengannya. Perkenalan itu kemudian lenyap tak berbekas.

Saya seorang sarjana ilmu informasi yang mengidap adiksi tinggi terhadap berbagai jenis bacaan. Linkedin sebagai situs jaringan sosial-profesional menjadi jembatan yang mengantarkan informasi mengenai keberadaannya pada saya. Tulisannya yang random namun terstruktur memikat rasa ingin tahu saya. Layaknya candu, postingan demi postingan tidak pernah saya lewatkan. Iya, saya teracuni oleh tulisannya. Sayangnya seiring berjalannya waktu, konten yang ada di blognya makin tidak bermutu. Sehingga saya-pun melupakannya. Masih banyak blog lain yang lebih berkualitas keleusss.

Di awal tahun 2014, di suatu siang yang terik dan di jam kantor, saya men-tweet quote dari seorang teman. Saya tidak menujukan tulisan itu pada siapapun. 100% untuk diri saya sendiri.

“Everything happens for a reason, but sometimes the reason is because you are stupid and you make a bad decision”

Dan dia me-ReTweet-nya. Terlintas dalam kepala saya “Oh orang ini masih hidup”. Karena kabar terakhir yang saya dengar, dia mendamparkan dirinya ke tengah padang pasir dan parahnya sekarang saya juga ikut terdampar kesini (-__-).

Bakat kepo saya seolah terpancing untuk mencari tau apa yang terjadi dengannya. Melalui blog-nya tentu saja. Dan saya tertawa terbahak-bahak ketika menemukan jawaban atas kondisinya saat ini. “Makanya kalau jatuh cinta jangan lebay, mampus deh lu ditinggal pujaan hati”. Iya, saya memang jahat, judes, ada masalah?.

Jadilah saya mem-bully dia melalui chat yang makin hari makin intens. Sebenarnya tindakan mem-bully dan mentertawakan penderitaannya tidak lepas dari kejadian yang menimpa saya sebelumnya. Gagal menikah. Secara tidak langsung, sebenarnya saya mentertawakan dirinya sekaligus mentertawakan diri sendiri.

Semakin intens percakapan yang kami bangun, entah mengapa saya merasa terlalu nyaman. Dan jika diteruskan mungkin saja akan menjadi bumerang bagi kami berdua. Saya menyampaikan bahwa tidak wajar rasanya bila rasa ketergantungan dalam hubungan pertemanan ini menjadi sedemikian kuat. Saya bermaksud mengakhiri semuanya. Berdiskusi secukupnya. Tapi alam bawah sadar kami sama-sama menolaknya. Entah mengapa terus berlanjut. Saya yakin betul, saat itu saya belum mencintainya. Boro-boro cinta, sayang aja enggak. Tapi jika Allah sudah berkehendak, mampukah kami yang cuma manusia ini menentangnya?

Di bulan Maret 2014, dia pulang ke Indonesia. Saya memperkenalkannya pada Papa dan Mama. Pikiran saya cuma satu, jika boleh ya syukur bisa dilanjut. Jika tidak, ya mumpung belum terlalu dalam. Berakhirlah…

Ternyata orang tua menyerahkan segala keputusan pada saya.

Dan disinilah saya sekarang, terduduk didepan laptop. Menunggunya pulang dari kantor sambil tetap melakukan apa yang menjadi kegemaran saya. Membaca, menulis, memasak, melamun dan whatsapp-an dengannya. Praktis tidak ada yang berubah dalam kehidupan saya, ga tau kalau dia.

Mungkin akan banyak anjing menggonggong yang berkomentar ini-itu, tapi mau sampai kapan kami peduli pendapat orang lain? Dari kami hanya ada niat baik, cukup Allah yang mengetahui. Kami sebagai khafilah cukup berlalu dan mengusahakan yang terbaik.

So baby, please just stand by me and hold my hand 🙂