Pengen deh teriak-teriak hal tersebut ke orang tua yang ga berhasil bikin anaknya berani bersikap, mengambil keputusan, bertanggung jawab dan menerima resiko. Eh, emang situ bisa? Walaupun memang tidak mudah, saya yakin BISA.
Saya dibesarkan di keluarga yang demokratis, berbicara dengan asertif merupakan sebuah kebiasaan yang terbangun sejak kecil. Jadi berdiskusi dan berdebat dengan orang tua sudah biasa kami lakukan, justru dari sini kedua pihak belajar untuk lebih mengenal satu sama lain. Papa dan Mama tau, rasa ingin tau saya yang berlebih kadang membuat saya terlalu berani mencoba hal baru. Menantang apa yang sudah biasa ada di masyarakat. Kadang berhasil dengan sukses dan tidak jarang pula saya pulang dengan tangisan karena gagal.
Biasanya selama beberapa waktu saya akan memendam kekecewaan itu, bertanya dalam hati. Kira-kira apa penyebabnya? Jika saya sudah menemukannya, saya tertawa dan (biasanya) akan mencobanya lagi. Hingga saya menghasilkan kesimpulan bahwa hal ini tidak bisa dilakukan. Tapi jika berhari-hari saya masih belum menemukannya, saya akan bertanya pada Papa dan Mama. Duh seketika saya jadi kangen sama mereka hiks.
Ketika menuliskan ini saya baru teringat bahwa Mama pernah mengajari saya mewarnai “Kalau mewarnai itu harus searah dek, biar rapi! Gunung kalau dari dekat warna hijau, kalau dari jauh warna biru…”. Dan saya-pun bertanya “Terus kalau Ayu pengen mewarnai gunung dengan warna hitam gak boleh? Kan di gunung belum ada listrik!”. Mama bilang “Ya gapapa dek, listrik belum masuk desa..”. Alhasil saya pernah mendapatkan nilai 6 untuk mewarnai.
Jadi ketika itu kami diberi selembar kertas yang berisikan gambar sebuah kota lengkap dengan gedung, mobil, rumah dan aktivitas orang-orang didalamnya. Saya mewarnainya dengan crayon hitam. Bisa ditebak, kertas saya layaknya kertas karbon yang berwarna hitam pekat. Bu Yati selaku guru kesenian menghampiri saya dan menanyakan mengapa saya mewarnai seperti itu. “Kota-nya lagi lampu mati bu!” jawab saya. Nilai itu-pun berganti menjadi 8. Dan saya bersekolah di TK Kemala Bhayangkari #bukaniklan. Btw, Bu Yati masih ngajar gak ya?
Ketika kelas 1 SD, saya tidak berani pulang ke rumah karena ujian bahasa daerah mendapatkan nilai 0 (fyi, mama saya terbiasa menemani saya belajar, mengerjakan PR dan pastinya buku saya dibuka satu per satu). Hingga akhirnya saya pulang karena lapar, tapi sesampai di halaman saya tidak berani masuk rumah. Apalagi melihat mama sudah duduk di ruang tamu. “Loh kok ga masuk dek? Ada apa pulangnya kok cek siange?”. Alih-alih menjawab pertanyaan tersebut, saya malah menangis sesenggukan dan lari ke pelukan mama “Ulangan bahasa daerahku dapet 0 ma ” hahaha geli deh ingetnya. Seketika mama memeluk saya yang masih menangis “Ya udah gapapa, besok nol-nya diceplok buat sarapan yah”. Saya makin nangis sesenggukan karena merasa “cegek”, tau gitu pulang daritadi. That’s my mom! Unpredictable.
Jadi kalau sempat beredar “memepic” tentang anak pitik, anak wedhus dan lain-lain itu. Yeah I’ve been there and done that hahahah. Jangan ditanya deh, setelah kejadian itu, dengan ditemani Mama, saya kian rajin menghapalkan materi Pepak Basa Jawi yang sampulnya merah ntuh. Jadi selama bukan tulisan hanacaraka, saya selalu mendapat nilai memuaskan untuk pelajaran bahasa daerah.
Sedangkan Papa, Papa adalah orang pertama tempat saya mengadu ketika dimarahin Mama hahaha. Masih hangat dalam ingatan, ketika kecil saya selalu minta dibawakan oleh-oleh sepulang kerja. Paling sering minta dibawakan waffle, bukan karena saya suka. Hanya karena saya tau, di kantor Papa ada penjual kue tersebut. Sesampai dirumah yang makan kue tersebut ya Papa sendiri sih hahaha. Pernah Papa tidak membawakannya, mungkin karena beliau sendiri bosan tiap hari makan kue tersebut. Saya nangis dengan lebaynya di kamar, besoknya? dibawain lagi! Bedanya, saya menemani beliau makan, walaupun ga suka.
Beliau juga yang setiap malam memeriksa setiap bagian tubuh saya sebelum tidur. Jadi kalau siangnya saya jatuh, pasti malamnya saya sembunyikan lukanya dan selalu aja ketauan. Walaupun sambil ngomel, Papa akan dengan tekun membersihkan luka dan meneteskan obat merah. Old fashion banget yah hahaha.
Ketika kami beranjak dewasa, Papa merupakan salah satu fashion police yang bikin bete. Beliau pasti orang pertama yang mengkritisi appearance saya dan Kakak, bahkan lebih comel dari mama. Walaupun diawal masukannya seringkali kami tolak, tapi akhir-akhirnya nurut juga sih yak!. Gimana-gimana seleranya Papa emang bagus, makanya dapet istri cantik (-_-).
Begitulah sekilas mengenai pola pendidikan orang tua saya, mereka tidak pernah memaksakan saya untuk menjadi A, B ataupun C. Mereka percaya setiap anak itu “spesial”. Mereka hanya menyiapkan bekal saya, berjalan dari belakang, memandang dari kejauhan, menggumamkan doa dan dengan tangan terbuka siap menerima anaknya yang bahkan pulang dalam kondisi penuh luka.
Ga kerasa air mata ini menetes, I Love You Papa-Mama. Thank you for supporting my decision, my latest decision to be the wife of him. I am grateful to have parents like you who always encourage me to strive for the best in my different way. I would not be where I am today without you.